Bahaya Makanan Haram

Secara substantif, setiap barang atau benda yang diharamkan oleh Allah pada dasarnya mempunyai kandungan hikmah dan manfaat. Namun, manusia tidak selalu mampu menelusuri kandungan hikmah dan manfaat apa yang menjadi ketentuan Allah, karena keterbatasan daya jangkau akalnya. Contoh yang paling riil di depan mata kita adalah dampak buruk yang diakibatkan oleh khamar (minuman yang memabukkan). Orang yang sedang dalam keadaan mabuk sudah pasti kehilangan keseimbangan emosi dan pikiran, dan sangat mungkin melakukan celah kemaksiatan yang dibenci oleh Allah. Demikian juga babi, orang yang makan babi cenderung rasa cemburunya relatif rendah seperti sifat babi itu sendiri. Orang yang terbiasa makan daging babi, tidak mudah untuk cemburu ketika pasangan hidupnya (suami atau isteri) berselingkuh dengan orang lain. Sedangkan orang yang menghindari makan daging babi, ia cenderung rasa cemburunya sangat tinggi. Bahkan pembuktian ilmiah mengatakan, bahwa intelegensia orang yang memakan daging babi lebih rendah dibandingkan dengan orang yang tidak mengkonsumsinya.


Akan tetapi yang harus diingat adalah bahwa keharaman khamar atau babi itu tidak selalu dapat kita temukan hikmah yang bersifat dhahir (nampak)nya saja. Dulu banyak orang berfikir bahwa haramnya khamar itu disamping memabukkan juga bisa merusak kesehatan manusia. Namun alasan kesehatan akan kehilangan relevansinya kalau khamar diminum oleh orang atau masyarakat di daerah yang mempunyai cuaca yang sangat dingin seperti di daerah Eskimo sebagai penghangat tubuh, misalnya. Hal yang sama berlaku terhadap daging babi. Kalau dahulu orang mencari sebab-sebab keharaman babi lebih karena mengandung cacing pita yang bisa mengganggu kesehatan. Tetapi dengan perkembangan teknologi mutakhir, ternyata cacing pita bisa dihilangkan dengan metode tertentu. Lalu apakah keharamannya akan menjadi hilang? Tentu saja tidak demikian adanya.


Demikian juga dampak buruk yang diakibatkan oleh barang atau benda haram secara ghairu dzatiyah (di luar substansinya) karena diperoleh dengan cara yang tidak halal. Dalam doktrin Islam, bahwa keharaman dan kehalalan sesuatu secara substansi dan di luar subatansinya itu merupakan otoritas mutlak yang dipunyai oleh Allah SWT. Salah satu kaidah fikih menyebutkan sebuah ketentuan: “Laa yus’al ‘ammaa yaf’al”, artinya: janganlah kamu tanyakan apa yang ditetapkan oleh Allah. Jadi, apa yang telah diharamkan oleh Allah, maka kita harus menerimanya sebagaimana pula berlaku sebaliknya. Kekuatan iman seseorang menjadi penentu kepatuhan terhadap ajaran Allah yang disyariatkan di muka bumi ini. Ketika Allah mengharamkan sesuatu, maka bagi orang beriman pantang untuk mengeluarkan tanda tanya: memangnya kenapa diharamkan?


Untuk itulah Islam sangat keras memberikan peringatan kepada mereka yang tidak mempedulikan proses mendapatkan hartanya. Jika seseorang telah menjadi budak harta dan dengan segala cara untuk memperolehnya, maka segala kemaksiatan akan dilakukan. Karena mengkonsumsi barang haram (baik dzat maupun cara memperolehnya), akan mempunyai kecenderungan untuk selalu melakukan dosa yang semakin jauh dari tuntunan Ilahi. Akibatnya, ia semakin terbenam dalam kebiasaan-kebiasaan yang dibimbing oleh hawa nafsu. Dalam al-Quran disebutkan : “Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya”. (QS 80:24). Dan makanan yang dikonsumsi niscaya menimbulkan konsekuensi, sesuai dengan maksud sabda Nabi SAW : “Setiap daging tumbuh yang diperoleh dari kejahatan, maka neraka lebih layak baginya”. (HR. Imam Ahmad)


Maka patut diduga dan dikhawatirkan, makanan yang haram akan mendorong pada perilaku-perilaku yang diharamkan pula menurut ketentuan agama Islam selaras dengan sinyalemen Nabi SAW dalam haditsnya yang telah disebutkan di atas, karena syetan telah merasuk ke dalam diri dan jiwanya, mempengaruhi gerak langkah yang dilakukan. Selanjunya, dampak itu terus menetes dan mewaris pada keturunan, sehingga anak-anak dan cucunya pun berkecenderungan pada perilaku yang diharamkan pula.


Agar kita tidak termasuk dalam kategori manusia yang diancam akan masuk neraka karena kita tidak peduli terhadap apa-apa yang kita makan, maka kita hendaknya merenungkan ulang terhadap sabda Nabi yang berbunyi: Man la yubali min aina iktasaba al-mal lam yubali aina adkhalahu an-naar (barang siapa tidak mempedulikan dari mana ia mengusahakan harta, maka Allah tidak mempedulikan dari mana Dia memasukkannya ke neraka (HR. Abu Manshur ad-Dailami).
Kalau kita sudah mengerti akibatnya, kenapa juga kita tidak segera menyadarinya? Wallahu a’lam bish shawab.


Thobieb Al Asyhar

3 Comments:

Anonymous said...

HIDUP BABI .....

Anonymous said...

Yang nggak makan babi, pikirannya seputar pantat melulu jamin halal.

Lukman said...

Dalam hal ini, setuju dengan "Laa yus’al ‘ammaa yaf’al".

Post a Comment